YOGYAKARTA – Untuk meningkatkan kompetensi mahasiswa, Politeknik Pembangunan Pertanian Yogyakarta Magelang (Polbangtan YOMA) membekali mahasiswa pengetahuan mengenai Perdagangan Internasional, di Ruang Seminar Jurusan Pertanian, Kamis (11/1/2024) dan diikuti oleh seluruh mahasiswa semester 7 Agribisnis dan Hortikultura.
Kegiatan Kuliah Narsumber merupakan kegiatan rutin yang dilaksanakan oleh Polbangtan YOMA dengan menghadirkan praktisi-praktisi handal untuk menjadi Dosen tamu. Pada keterangan terpisah, Bambang Sudarmanto selaku Direktur Polbangtan YOMA menegaskan perlunya upaya meningkatkan kompetensi baik secara teori maupun praktik.
“Sebelum terjun ke lapangan penguatan teori seperti dasar-dasar regulasi pertanian juga sangat penting, agar mahasiswa juga punya pedoman standar yang berlaku seperti regulasi ekspor produk pertanian yang menjadi salah satu ilmu penting bagi mahasiswa,” ujar Bambang.
Kuliah tersebut menghadirkan praktisi dari Balai Karantina Hewan, Ikan, dan Tumbuhan Yogyakarta ini mengangkat topik tentang Standardisasi Produk Pertanian Ekspor Impor.
Menteri Pertanian Amran Sulaiman mengatakan, setiap individu pertanian harus bisa membekali diri dengan perkembangan zaman. Terlebih, pertanian telah menjadi isu global.
Hal tersebut dipertegas Kepala Badan Penyuluhan dan Pengembangan SDM Pertanian (BPPSDMP), Dedi Nursyamsi.
“Isu perdagangan internasional sejak dahulu telah menjadi aspek kunci dalam perekonomian global. Perdagangan Internasional memiliki peran yang signifikan dalam pertumbuhan dan perkembangan ekonomi,” katanya.
Dedi menegaskan, produk pertanian menjadi salah satu komoditas yang didorong untuk bisa go internasional. Namun untuk mencapai tujuan tersebut tentunya ada prosedur dan syarat-syarat dokumen yang harus dipenuhi.
“Itulah mengapa SDM memegang peranan paling penting dalam kemajuan pertanian. Dan itulah juga alasan mengapa SDM pertanian harus terus membekali diri dengan pengetahuan baru agar kita terus bersaing,” ujarnya.
Palupi Murnaningsih, Koordinator Jabatan Fungsional Karantina Tumbuhan, mengatakan untuk bisa melakukan ekspor produk pertanian salah satu langkah yang harus dilalui yaitu lolos dokumen persyaratan fitosanitari negara tujuan ekspor.
“Penerbitan Sertifikat Fitosanitari sendiri memiliki tujuan untuk memberikan jaminan kesehatan dan keamanan produk pertanian yang dilalulintaskan baik ekspor maupun impor,” katanya.
“Produk yang dikirim maupun diterima sebelumnya harus diuji dan dipastikan bebas OPTK (Organisme Pengganggu Tumbuhan Karantina), bebas tanah, bebas dari tanaman lain yang tidak dikehendaki, bebas dari bagian hewan dan bahan-bahan asing, dalam keadaan utuh, tidak rusak, tidak busuk, melalui perlakuan karantina, dan wajib dikemas serta disimpan terpisah dari kiriman lain,” rinci Palupi.
Namun syarat yang ditetapkan oleh masing-masing negara juga harus mengikuti standar yang ditetapkan internasional.
Palupi memberikan contoh kasus mengenai penolakan ekspor komoditas kopi ke Jepang karena residu karbaril (bahan aktif pestisida) yang menurut standar Jepang melampaui ambang batas
“Setiap negara memiliki regulasi tersendiri dalam menentukan produk layak diterima atau tidak. Seperti Jepang, Standar di Jepang kandungan residu karbaril maksimal 0,01 ppm, namun berdasarkan standar Codex, kontaminasi residu karbaril yang ditoleransi yaitu 0,02-0,03 ppm,” jelas Palupi.
Saat itu hasil sampling kopi yang akan dikirim melebihi dari 0,01 sehingga ditolak, padahal produk yang akan dikirim sebanyak 20-30 kontainer. Untuk mengatasi hal ini dilakukan dialog intensif antara Indonesia dan Jepang sejak Tahun 2010.
“Indonesia mendesak Jepang untuk menggunakan standar Codex dalam menetapkan BMR Karbaril dari 0,01 ppm menjadi 0,1 ppm yang disampaikan dalam Round Table on Regional Commodity Exchange Market Integration in Asia di Tokyo 12-13 September 2012,” terangnya.
Belajar dari kasus tersebut, Palupi menerangkan pentingnya peran laboratorium uji dalam pemenuhan persyaratan keamanan pangan dan pentingnya pelaku usaha untuk mengetahui alur tatacara pengajuan sertifikasi fitosanitari serta mengidentifikasi penyebab umum penolakan ekspor produk pangan.
“Untuk meminimalkan penolakan, sebelumnya kita harus preventif dengan mengusai aturan negara tujuan. Selain itu didukung juga dengan pemeriksaan laboratorium menggunakan peralatan yang terkalibrasi dengan baik,”kata Palupi. (HG)